Senin, 08 September 2014

CARA JITU MEMBANGUN EKONOMI KELUARGA



Masalah uang adalah masalah yang sensitif. Sebab dengan uang, manusia dapat melakukan segala cara. Manusia dapat menghalalkan yang haram. Mencuri, merampok, berbohong, hingga ke taraf korupsi. Termasuk bangunan keluarga pun akan berujung perceraian dengan beralasan uang atau hal materi. Pendidikan, sandang, pangan, papan, dsb merupakan faktor yang menunjang bertambahnya kebutuhan keluarga. Bertambahnya kebutuhan ini tidak dapat dipungkiri dan pasti terjadi dalam suatu rumah tangga.

Memasuki gerbang pernikahan berarti memasuki romantika kehidupan baru. Gerbang yang penuh cinta, penuh kasih sayang dan penuh kebahagiaan lainnya. Akan tetapi cinta bisa akan cepat pudar apabila muncul permasalahan-permasalahan baru. Seperti menambahnya beberapa kebutuhan rumah tangga. Oleh sebab itu, agar hal-hal buruk tidak menimpa keluarga, maka cukupnya ekonomi merupakan salah satu hal yang harus dipertimbangkan secara matang ketika akan menuju ke jenjang pernikahan. Lantas, bagaimana caranya membangun ekonomi keluarga tersebut?

Pertama, benahi bangunan ke-Islam-an keluarga.

Bangunan ke-Islam-an merupakan syarat utama dalam memilih pasangan dan memulai kehidupan berkeluarga. Sebagaimana Rasul saw bersabda bahwa dalam memilih pasangan hendaklah dikarenakan agama. Jika memilih karena harta, ia akan musnah. Jika memilih karena paras, ia akan hancur ditelan waktu. Begitu pula dalam membina rumah tangga. Setiap pasangan suami istri tentu menginginkan hubungan yang harmonis, tentram, dan sejahtera dalam ikatan mawaddah wa rahmah. Islam adalah pedoman bagi kelangsungan hidup bahagia dalam mengarahkan manusia mencari ekonomi keluarga sesuai fungsi suami. Isteri dalam kapasitasnya menjaga dan mengolah harta suami dengan penuh tanggung jawab. Anak menerima hasil jerih payah orang tuanya dengan benar. Tidak untuk digunakan foya-foya.

Manusia tidak akan berani mencuri, merampok, korupsi dan hal haram lainnya jika bangunan ke-Islam-an nya kuat. Mereka akan takut pada Allah SWT. Kalaupun si suami khilaf, maka kewajiban isteri lah untuk mengingatkan. Bukan malah sebaliknya, mendukung suami untuk berbuat dzalim. Begitu juga dengan si isteri. Jika sedang khilaf, maka suami harus mengingatkan dan mengarahkannya ke jalan yang lurus. Sebab suami dan isteri adalah pakaian dalam kehidupan manusia. Mereka harus saling menutupi segala jenis kekurangan. Mereka harus saling mengingatkan dan memperbaiki segala khilaf yang ada. Sebagaimana firman-Nya “Mereka (para isteri) adalah pakaian bagimu, dan kamu (suami) pun adalah pakaian bagi mereka”. (QS. al Baqoroh: 187)

Kedua, benahi Aset Rumah Tangga.

Anak, isteri dan suami adalah aset keluarga bahagia. Kadang kita masih suka menghitung aset yang kita miliki, yang kita kumpulkan satu demi satu, rupiah demi rupiah. Pernah kita juga menghitung aset dalam diri kita yang tidak berujung. Misalkan saja orang tua yang menyekolahkan sampai sarjana, jika dihitung-hitung, ternyata memang cukup besar. Ada yang ketemu berapa milyar. Tentu harga kita masing masing akan berbeda. Saya disekolahkan di Negeri mungkin Bapak atau Ibu di swasta sehingga perbedaan itu lah yang membedakan.

Kemudian kita memiliki anak yang berfungsi sebagai penerus orang tua. Ini juga merupakan aset, namun secara ekonomis belum dapat berdiri sendiri dan pada hakikatnya kita sedang membangun aset kita sendiri. Kadang  kita juga lupa bahwa kita lebih senang mengembangkan aset dari pada mempertahankan aset dahulu baru mengembangkan kemudian. Karena aset yang sudah ada perlu dijaga dan juga dalam pengembangan aset tak terlihat juga membutuhkan dana atau aset likuid. Sebagian dari kita sibuk akan investasi di sana sini tetapi tidak mempertahankan aset kita. Mungkin pada saat tidak terjadi resiko kita bisa senyum namun sudah siapkah kita jika terjadi resiko.

Pemikiran kita adalah aset, anak adalah aset, jadi mari kita pertahankan aset dahulu. Kita didik isteri (sebagai tanggung jawab suami) dan anak (sebagai tanggung jawab keduanya) dengan akhlak dan kode etik manusia Muslim dengan berpegang pada akhlak Rasul saw sehingga menghasilkan kelayakan ekonomi yang sesuai ajaran Islam. Sebab bagaimanapun juga ekonomi merupakan salah satu pilar penting kehidupan keluarga. Membangun ekonomi tidak akan mungkin tanpa memperhatikan aspek lain sebagai fondasinya. Tanpa dibangun ekonominya maka keluarga tidak mungkin hidup tenang dan sejahtera. Akan tetapi, ekonomi juga tidak akan tumbuh sempurna jika di dalam rumah tangga tidak menyandang sifat-sifat jujur, terpercaya, amanah, saling mengasihi dan sifat-sifat mulia lainnya.

Rasul dalam membangun keluarga, tidak terkecuali ekonomi, diawali dengan membangun akhlak. Keluarga diajak untuk berperilaku jujur, adil, berkata benar, memenuhi janji, peduli sesama, saling mencintai, tolong menolong, menghargai ilmu pengetahuan dan seterusnya. Perilaku seperti itu dianggap sebagai penentu, kunci, atau aspek yang sangat strategis terhadap bangunan sosial lainnya ke taraf yang lebih luas. Tidak akan mungkin dibangun keluarga yang sejahtera, adil dan makmur jika watak, perilaku atau akhlak lingkungan terkecil manusia (keluarga) rusak. Sedangkan tatkala membangun akhlak, Rasul menggunakan pendekatan ketauladanan (uswah hasanah).

Gambaran itu memberikan pengertian bahwa dalam membangun ekonomi di zaman Rasul, di antaranya ditempuh dengan cara membangun ekonomi keluarga terlebih dahulu dengan tetap memperhatikan masyarakat sekitarnya. Sebab keluarga adalah aset terpenting bagi suatu negara. Sebagai ilustrasi yang lebih nyata, Rasul memberikan contoh, jika seorang keluarga lagi memasak masakan yang istimewa, maka dianjurkan agar kuahnya diperbanyak, sehingga sekalipun sebatas kuahnya bisa dibagikan kepada tetangga dekat. Tetangga tidak boleh dibiarkan hanya ikut merasakan lezatnya masakan hanya dari baunya saja. Ini harus diajarkan pada aset-aset kita.

Begitu juga Rasul mengajarkan pada umatnya untuk selalu menjaga harga diri. Tidak menunggu bantuan atau uluran tangan orang lain dan juga tidak mengemis pada pemerintahan. Sebaliknya, kita harus aktif mencari nafkah untuk keluarga dengan kerja keras. Sebab memberi lebih baik daripada menerima. Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Sebagaimana Rasul memberikan kampak kepada pengemis sebagai alat untuk digunakannya bekerja. Rasul tidak mengajarkan sikap pragmatis dengan memberikan makanan ataupun minuman, tapi kampak sebagai sarana bagi si pengemis untuk bekerja keras.

Islam dalam membangun ekonomi, dilakukan secara utuh, yakni membangun kehidupan secara keseluruhan. Keluarga dibangun akhlaknya, silaturrahminya, semangat saling membantu, kejujuran dan keadilan, kesetaraan derajat dan kepeduliannya antar sesama. Atas dasar sifat-sifat mulia itu kemudian berimplikasi pada masyarakat luas agar selalu ta’awun, membangun kasih sayang di antara semuanya. Mereka disatukan baik di masjid tatkala shalat berjamaah pada setiap waktu, maupun dalam memenuhi ekonomi kebutuhan hidupnya, sehingga jika sukses dalam keluarga, maka sukses pula negara. Mudah-mudahan kita semua termasuk hamba-Nya yang mampu membangun ekonomi keluarga dengan baik dan berdasarkan ajaran Islam. Aamiin.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar